Being Indonesian Citizen and Gay
Sepenggal kehidupan manusia di bumi pertiwi yang mencintai mereka yang tidak bisa dicintai
Siang ini ketika saya sedang makan, iseng-iseng buka Twitter. Ada sebuah tweet dari salah satu akun robot di Indonesia yang secara acak post tentang berita-berita yang berhubungan dengan Indonesia. Ada satu yang menarik perhatian saya, yaitu tentang kaum homoseksual di Indonesia yang positif mengidap HIV. Anda bisa baca beritanya di sini.
Angka-angka yang ditunjukkan dalam berita tersebut mengagetkan saya. Di situ dijelaskan bahwa 25% kaum homoseksual(pria) di Indonesia positif mengidap HIV, sementara untuk kaum gay yang ada di Jakarta sendiri angkanya mencapai 33%. Wow. Ada 1 orang positif HIV di setiap 4 orang orang homo yang ada di Indonesia. Ini tentu saja gila sekali bisa sampai terjadi demikian. Tapi pertanyaannya bagaimana bisa?
DISCLAIMER
Saya tidak akan membicarakan apakah homoseksualitas merupakan sebuah penyakit yang bisa disembuhkan, atau sebuah penyakit yang menular ke lingkungan sekitar karena salah pergaulan, ataupun hal ini merupakan sebuah ciptaan Tuhan yang memang sudah dibentuk untuk suka dengan sesama jenisnya. Silahkan Anda sendiri yang berargumen dengan bekal yang Anda siapkan, saya tidak ingin berdebat tentang ini.Intinya adalah, orang-orang seperti ini benar-benar ada, baik Anda mengakuinya atau tidak. Dan apapun orientasi seksual mereka, mereka juga manusia seperti Anda dan saya, bukan babi atau anjing yang bisa diperlakukan semena-mena.
Being gay
Menjadi kaum homoseksualitas, atau kaum LGBTQ+(Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender, Queer, and more) di Indonesia bukanlah perkara mudah. Banyak sekali hal yang menjadi beban dalam kehidupan orang-orang seperti ini.
Pernahkah Anda memiliki teman yang DIGOSIPKAN memiliki orientasi berbeda? Saya kenal beberapa. Dan apa reaksi orang-orang di sekitar dia? Jijik, takut, menutup diri, mempertanyakan kebenarannya, dan bahkan ada yang benar-benar anti dengan mereka seolah mereka mandi air liur anjing yang haram untuk disentuh dan didekati. Hal ini terjadi kepada teman-teman saya yang DIGOSIPKAN memiliki orientasi seksual yang tidak biasa. Bisakah Anda bayangkan apa yang terjadi jika gosip itu benar adanya dan mereka mengakui orientasi seksual mereka secara terbuka?
“The family disowned him. They didn’t want anything to do with him,” said Nanwani. “In the shelter, he felt like there’s nothing, no future. And then he started skipping his medications.”
— Wright, Stephen (2018, July 2). Research Warns Indonesia Gay Bashing Is Fueling HIV Epidemic. Associated Press. Retrieved from US News
Saya pribadi sebagai seorang yang beragama Kristen — golongan minoritas — merasakan banyak deskriminasi yang terjadi karena perbedaan agama ini, yang padahal sama-sama meyakini sesuatu yang baik. Saya tidak tahu bagaimana deskriminasi akan terjadi kepada mereka yang menyatakan dirinya merupakan kaum LGBTQ+ secara terbuka di masyarakat, terutama karena LGBTQ+ merupakan golongan yang sudah di cap buruk, bahkan di sebagian masyarakat dianggap hina, tidak jauh berbeda dengan PKI.
Deskriminasi yang demikian berat akhirnya ‘memaksa’ teman-teman kita yang memiliki orientasi seksual yang berbeda kemudian memutuskan untuk bersembunyi di balik topeng normal mereka. Mereka takut dijauhi, takut dimusuhi, takut tidak punya siapa-siapa lagi, dan tentu saja takut “nama baik” mereka tercoreng.
Mindset
Coba sekarang saya tanya. Kalau saya minta Anda membayangkan seorang homoseksual, apakah yang Anda bayangkan?
Predator seksual?
Om-om kaya raya tapi lekong?
Bapak-bapak buncit yang terlihat seperti predator seksual?
Pengamen banci di lampu merah deket mall di kota besar?
Pria-pria ngondek yang pakai kaos v-neck kemana-mana?
Salah. Bukan itu.
Mereka adalah teman kita.
Mereka tinggal di sekitar kita.
Mereka sama seperti kita.
Mereka adalah kita.
Tidak percaya? Saya pun pada awalnya tidak percaya. Sampai saya tahu sendiri, bahwa teman-teman saya rupanya memiliki orientasi seksual yang berbeda-beda, bahkan mereka yang tidak menunjukkan sifat-sifat di atas.
Pola pikir kita salah, oleh sebab itu kita tidak bisa menerima orang-orang seperti ini. Saya dulu juga tidak bisa menerima kenyataan bahwa teman saya seorang homoseksual, karena saya takut dia akan menjadi predator seksual seperti yang saya pikirkan. Tapi rupanya tidak. Mereka juga manusia yang butuh teman walau memiliki kecenderungan seksual berbeda dari yang kita bayangkan. Justru jika kita jauhi, mereka akan semakin terjerumus ke hal-hal yang berbahaya.
Memang secara agama(Islam, Kristen, Katolik, dan Yahudi; saya tidak tahu dengan Buddha, Hindu, Konghucu, serta agama yang tidak diakui di Indonesia) LGBTQ+ merupakan suatu hal yang salah. Tapi dari yang saya pelajari sejauh ini, agama pun mengajarkan bahwa LGBTQ+ ini sama seperti narkoba dan perbuatan kurang baik lainnya: Jauhi perilakunya bukan orangnya. Sayangnya, di Indonesia kita sering kali menyamakan antara perilaku dan pelaku.
Life full of expectations
Seorang pernah berkata kepada saya:
Dia : Ta kayanya aku mau jadi straight(normal, suka lawan jenis) deh
Saya : Oh bagus. Tapi kalo boleh tahu kenapa ya?
Dia : Aku gamau menyakiti perasaan orang tuaku kalo aku homo. Mereka masih ingin aku punya anak dan menikah sama cewe.
Jujur saya sedih dengar cerita seperti itu, ketika seseorang merelakan kebahagiaan dirinya sendiri dan terpaksa menjalani hidup yang dia tidak inginkan untuk menyenangkan orang lain. Meski begitu, hal ini menyadarkan saya akan beberapa hal.
Pertama seperti yang sudah saya jelaskan, kaum-kaum homoseksual cenderung untuk menutup diri dari lingkungannya dan menyembunyikan jauh-jauh identitas itu dari orang di sekitarnya. Mereka rela untuk menggunakan topeng untuk menutup jati diri mereka agar mereka terlihat baik-baik saja oleh orang lain.
Kedua, masyarakat kita tidak bisa menerima kenyataan bahwa manusia bukan hanya hitam dan putih, baik dan jahat, pria dan wanita. Tetapi merupakan gabungan dari berjuta warna yang unik satu dengan yang lain — hal inilah yang mendasari bendera LGBTQ+ merupakan pelangi(gila pengetahuan gue luas bet dah. Hahaha) — bahwa masing-masing orang diciptakan sedikit berbeda dari yang lain, bukan untuk saling menjauhi dan saling menghujat, tapi untuk menghiasi dunia ini dengan warna yang berbeda-beda. Sayangnya, mindset seperti ini yang mendasari adanya deskriminasi terhadap kaum LGBTQ+ yang telah saya jelaskan di atas.
Ketiga, manusia hidup tidak hanya sendiri. Terkadang kita hidup dihadapkan dengan pilihan dimana kita harus merelakan kepentingan diri sendiri untuk menyenangkan orang lain atau melupakan keinginan orang lain untuk menyenangkan diri sendiri. Jujur dua pilihan itu merupakan pilihan yang sangat sulit untuk dipilih, karena keegoisan diri kita terkadang muncul begitu kuat.
Mungkin ada teman-teman di sini yang bergulat pada pilihan yang sama di paragraf sebelumnya. Pilihan untuk Anda hanyalah antara Anda yang belajar menyukai apa yang orang lain sukai atau Anda membuat orang lain menyukai apa yang Anda sukai. Kalau boleh menyarankan, saya sarankan ke pilihan pertama.
Kembali ke peramasalahan HIV di atas, kenapa bisa separah itu?
Highly publicized police raids targeting gay men and a vicious outpouring of anti-LGBT rhetoric from officials and other influential figures since early 2016 have caused significant disruption to HIV awareness and testing programs, according to a Human Rights Watch report released Monday.
— Wright, Stephen (2018, July 2). Research Warns Indonesia Gay Bashing Is Fueling HIV Epidemic. Associated Press. Retrieved from US News
Pertama deskriminasi terhadap kaum LGBTQ+ di Indonesia yang mendorong mereka untuk bergerak di bawah tanah dan tidak ingin identitasnya ketahuan, apalagi diperiksa penyakit menular seksualnya. Hal ini merupakan hal yang “menakutkan” bagi mereka dengan resiko identitas mereka terbongkar.
Kedua, karena satu dan lain hal kaum homoseksual juga bisa melakukan hubungan seks tak berpengaman yang dapat meningkatkan resiko penularan penyakit menular seksual. Salah satu pemicu dari perilaku ini adalah kurangnya pertemanan yang sehat akibat dikucilkan lingkungan sekitarnya.
Ketiga [ini yang menurutku lucu sih] pola pikir yang salah dari pelaku dan kita semua, bahwa membeli kondom itu merupakan hal yang tabu. Iya itu tabu, tapi tujuannya agar Anda tidak melakukan hubungan seks di luar nikah. Bukan malah seksnya jalan, kondomnya gapake. Nah yang saya bilang lucu adalah, banyak orang melakukan seks yg artinya ga tabu dilakukan tapi gamau beli kondom yang artinya tabu dilakukan. Kondom > Seks bebas???
Kesimpulan
Nah udah sampai di akhir, kesimpulannya adalah
- Meskipun memiliki orientasi seksual yang berbeda, orang-orang ini tetap seorang manusia yang layak untuk kita jadikan teman. Mereka tidak tiba2 berubah jadi siluman hanya karena memiliki orientasi seksual yang berbeda.
- Pola pikir yang salah, berujung pada sikap yang salah. Hal ini bisa diaplikasikan juga ke segala bentuk permasalahan kehidupan, bukan hanya tentang LGBTQ+.
- Baik Anda mau terima atau tidak, kenyataan menyatakan bahwa kaum LGBTQ+ ini ada di tengah-tengah masyarakat kita. Sikap Anda dalam menyikapi orientasi seksual mereka akan mempengaruhi bagaimana mereka melihat dunia dan perilaku mereka di lingkungan Anda.
- KALO NGEWE PAKE KONDOM YA TEMAN-TEMANKU YANG BUDIMAN. Tapi kalo bisa jangan hohohihek dulu sebelum nikah dan dilakuinnya sama pasangan aja jangan sama orang lain lagi :)
Pesan
Buat teman-teman yang merasa memiliki beban berat buat masalah ini, bisa kontak saya di line: okta_bramantio. Kalau saya bisa bantu, akan saya bantu.
Pertanyaan
Buat kalian yang bilang LGBTQ+ itu laknat dan terkutuk, bayangkan kalau keluargamu(entah ayah, ibu, saudara kandung) tiba-tiba bilang dia selama ini(anggap sudah berjalan 10 tahun lebih) merupakan gay atau lesbian, apa yang akan kamu lakukan?