Pak Jokowi, Rakyat Tidak Butuh Bapak

Okta Bramantio Swida
5 min readApr 15, 2018

--

Turunkan Jokowi! Rakyat ingin #2019GantiPresiden !

Tahun 2018 merupakan tahun yang ramai dengan perbincangan politik, terutama menjelang pemilihan presiden yang akan dilaksanakan pada tahun 2019 mendatang. Segala jenis upaya kampanye(termasuk black campaign) bahkan sering kita dengar di media manapun. Salah satu yang sering kita dengar yaitu slogan #2019GantiPresiden . Hal ini cukup menarik untuk saya, terutama karena semakin hari semakin sering kita mendengar slogan tersebut, dan bahkan ada yang membuat kaosnya

Gambar 1. Kaos #2019GantiPresiden. Diambil dari olx.co.id pada 15 April 2018 pukul 13.58 WIB

Tapi sebenarnya ada sebuah pertanyaan yang cukup mendasar. Kenapa sih sampai ada yang seperti ini? Kenapa banyak orang ingin sekali Jokowi turun pada pemilu tahun 2019 mendatang?

Ada 2 alasan yang saya dapatkan dari analisis pribadi, keduanya akan saya bahas lebih lanjut di bagian bawah.

Ada orang lain yang memiliki ambisi jadi presiden

Sederhana saja. Karena ada orang yang ingin menjadi presiden, atau ingin mengajukan calon lain menjadi presiden. Iya, sudah tertebak. Dan sejujurnya ini merupakan sebuah alasan klasik, menarik perhatian, lalu menarik simpatisan, baru setelah itu menarik pendukung. Nyata saja, memang faktanya tagar ini diprakarsai oleh salah satu partai oposisi pemerintahan Jokowi. Tapi sayangnya bukan ini yang ingin saya bahas dalam kesempatan kali ini. Melainkan:

Rakyat merasa pemerintahan Jokowi tidak memberikan dampak

Ya, rakyat merasa lelah dengan pemerintahan Jokowi yang tidak memberikan dampak bagi mereka.

Eits. Tapi bukan berarti selama ini Jokowi tidak memberikan dampak apapun. Dalam masa pemerintahannya, Jokowi berhasil mengadakan perbaikan di sana dan sini, di seluruh penjuru negeri, walau pun masih banyak yang perlu diperhatikan dan dievaluasi. Namun, secara keseluruhan Jokowi bukanlah pemimpin yang duduk diam setelah mendapatkan kekuasaan. Dia bekerja dan membangun di berbagai sektor di seluruh penjuru negara ini. Mulai dari pembangunan di perbatasan, jalan lintas Papua, sampai ke proyek multinasional yang diusung bersama beberapa negara, seperti China.

Tapi permasalahannya, hal-hal demikian tidak dapat dirasakan secara langsung oleh rakyat. Terutama oleh rakyat-rakyat yang berisik di media sosial, yang kebanyakan dari mereka berada di pulau Jawa dengan pembangunan yang sudah sangat baik. Pembangunan di sana-sini itu dirasakan dampaknya hanya ketika dipergunakan secara maksimal, alias dampak tidak langsung, dan itu pun oleh masyarakat di sekitar sana.

Mungkin akan lebih adil jika kita bandingkan dengan era beberapa presiden sebelumnya. Saya akan pilih 2 nama, yaitu Presiden Soeharto — yang memerintah paling lama — serta Presiden SBY — presiden 2 periode terakhir sebelum Presiden Jokowi.

Gambar 2. Ilustrasi pemerintahan Soeharto. Diambil dari Kamar Bujang 2 pada 14.28 WIB

Pertama dari era Soeharto. Pada masa Soeharto, rakyat sangat dimanjakan dengan berbagai macam bumbu manis kehidupan. Subsidi segala jenis dan dalam segala aspek kehidupan, mengakibatkan berbagai barang kebutuhan sehari-hari menjadi sangat terjangkau dan rakyat menjadi makmur. Memang dengan hal ini, kebutuhan kesejahteraan rakyat dapat terpenuhi.

Tapi, di balik itu negara punya kewajiban keuangan dan tanggungan hutang yang sangat besar. Namun, rakyat tidak peduli dengan itu. Selama mereka dapat makan kenyang, semua urusan aman. Hal ini mengakibatkan terjadinya peluang kerjasama multinasional sehingga munculnya KKN secara berantai dari pemerintahan di pusat sampai ke pemerintahan di kecamatan dan keluaran.

Penulis ingat salah satu cerita guru ketika SD. Pada zaman Soeharto, rakyat dicekoki dengan berbagai subsidi dan dialihkan perhatiannya dalam mengumpulkan pundi-pundi kekayaan melalui togel dan segala jenis pesugihan, sehingga melupakan permasalahan bangsa yang kian berantakan dari tahun ke tahun. Bahkan ketika rakyat bisa makan dengan kenyang, pertumbuhan ekonomi dan tingkat kemiskinan pada zaman itu tidak berkembang menjadi lebih baik.

Belum lagi diperparah dengan pembatasan opini yang ada pada masa itu. Pembatasan informasi yang lalu lalang di media massa, seperti TV dan radio apalagi adanya kontrol sosial dengan penembak misterius. Masyarakat seolah-olah dicecoki bahwa pemerintahan sedang baik-baik saja, serta bagi mereka yang cukup pintar untuk mencari tahu, tiba-tiba saja menghilang dari peradaban dan tidak pernah ditemukan kembali.

Gambar 3. Ilustrasi pemerintahan SBY. Diambil dari Ragam Berita pada 14.34 WIB

Lanjut kemudian ke era SBY. Pada zaman SBY banyak sekali yang terjadi, dari hal yang positif sampai ke negatif. Saya tidak akan menjadi ahli ekonomi dan menggurui Anda semua, silahkan cari saja data yang kredibel di mesin pencarian. Tapi ada satu hal yang ingin saya garis bawahi disini. Pada era pertama pemerintahannya(2004 s.d. 2009), SBY memiliki segudang prestasi, terutama dalam hal pemberantasan korupsi. Dalam 100 hari kepengurusannya, SBY mengefektifkan kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi, serta dapat menangkap 31 orang yang terduga korupsi. Hal ini tentu dianggap sebagai rapor sangat baik bagi pemerintahan SBY. Masyarakat dapat merasa uang yang mereka berikan ke negara melalui pajak dan lain sebagainya lebih aman dan dapat dipertanggung jawabkan dengan baik.

Oleh sebab itu, pada pemilu tahun 2009, partai demokrat — partai pendukung sekaligus yang berketuakan SBY — menggunakan propaganda “Katakan TIDAK pada korupsi”. Hal ini tentu saja dijadikan sebuah harapan bagi masyarakat sehingga memilih SBY untuk menjalankan kepresidenan untuk periode kedua, walau kini kita tahu juga bahwa antek-antek demokrat sendiri yang kemudian di-cyduq oleh KPK pada akhir pemerintahan SBY.

Kesimpulan

Mereka hanya membutuhkan pemimpin yang memberikan kenyamanan materi, sekalipun di belakang itu segala sesuatu sedang dikorbankan. Jika dibandingkan dengan pemerintahan Soeharto, sangat jelas rakyat sangat kurang dimanjakan. Tapi apalah fungsi memanjakan rakyat jika pada akhirnya hanya bisa bermanja-manja ria dan menyusahkan negara? Bukankah lebih baik rakyat diajak kerja keras bersama-sama untuk menaikkan kualitas negara.

Jika dibandingkan dengan pemerintahan SBY, rakyat kurang mendapat asupan “berita baik” dari kinerja pemerintah yang dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat. Masyarakat tidak mengerti arti dari pembangunan yang sangat gencar dilakukan Bapak Presiden Joko Widodo pada 4 tahun ke belakang.

“Apalah guna pembangunan jalan tol lintas Papua kalau yang bisa menikmati hanya mereka yang bermobil”, demikianlah perkataan salah satu Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa ternama di Indonesia di Mata Najwa 7 Feb. 2018 lalu.

Perkataan tersebut cukup menjelaskan ketidaktahuan masyarakat sekarang. Pembangunan yang sangat jauh dari Pulau Jawa ini dirasa terlalu jauh untuk berdampak pada masyarakat, terutama yang tinggal di Pulau Jawa. Hal ini mengakibatkan secara praktis, masyarakat — terutama yang banyak berisik di sosial media — menilai pembangunan-pembangunan ini tidak berguna.

Pak Jokowi, sebagian rakyat Indonesia tidak perlu pemimpin seperti Anda. Pemimpin yang berani berbuat dan bertindak, ketika tidak ada yang mau. Pemimpin yang berhasil membuat perubahan, sekalipun tidak ada yang melihat dan menghargai. Pemimpin yang berjalan di belakang kamera untuk melihat Indonesia lebih baik di kemudian hari.

Mereka hanya membutuhkan pemimpin yang memberikan kenyamanan materi, sekalipun di belakang itu segala sesuatu sedang dikorbankan. Mereka hanya membutuhkan pemimpin yang bisa memberikan dampak secara langsung, walau di belakang itu kebusukan demi kebusukan tengah ditumpuk untuk dipertontonkan di akhir kepengurusannya.

--

--

Okta Bramantio Swida
Okta Bramantio Swida

Written by Okta Bramantio Swida

It's a wonderful life | Just a simple guy who loves astronomy

No responses yet