Romantisme Pergerakan?
Hidup mahasiswa! Hidup rakyat Indonesia!
“Pergerakan mahasiswa mungkin hanya nostalgia” — Moeldoko, Staff Ahli Kepresidenan dalam acara Mata Najwa 25 September 2019
“Di UI itu ada buku namanya buku pesta dan cinta. Pergerakan mahasiswa kaya gini itu sudah biasa” — Fahri Hamzah, Wakil Ketua DPR-RI Bidang Kesejahteraan Rakyat dalam acara Mata Najwa 25 September 2019
Bandung, 26 September 2019
Akhir-akhir ini berita di berbagai sosial media sangat ramai memberitakan terkait demonstrasi massa yang terjadi di berbagai penjuru daerah seperti Gedung MPR (Jakarta), Gedung Sate (Bandung), dan juga Jalan Gejayan (Yogyakarta). Di berbagai kesempatan ini, cukup jelas terlihat bahwa hampir seluruh lapisan masyarakat berbondong-bondong menyuarakan aspirasinya terhadap mereka yang disebut wakil rakyat. Bahkan aksi ini cukup menyita perhatian media-media nasional seperti TvOne(ILC), Trans7(Mata Najwa), Tempo, Detik, dan Tirto.
Mungkin di antara rekan-rekan masih ada yang belum tahu apa yang sebenarnya disuarakan oleh rekan-rekan kita yang turun ke jalan. Oleh sebab itu boleh dibaca terlebih dahulu berkas tuntutan dari Aliansi Mahasiswa Indonesia di sini (bit.ly/MaklumatTuntaskanReformasi) atau sikap KM ITB mengenai Revisi UU KPK melalui (bit.ly/KPKDiujungTanduk).
Pergerakan
Sebagai salah satu mantan aktivis kampus (self-declared), saya tentu cukup familiar dengan istilah aksi atau pergerakan. Tapi mungkin kedua istilah tersebut cukup asing di telinga kawan-kawan, terutama bagi kalian yang hampir tidak pernah berkecimpung di bidang eksekutif kampus seperti BEM. Istilah yang pasti pernah kita semua dengar adalah demonstrasi.
Sebagian dari kita mungkin begitu anti dengan istilah demonstrasi. Benar. Bahkan sebagai mahasiswa, sebagian dari kita memilih untuk tidak ikut dalam demonstrasi yang dilaksanakan oleh BEM di kampus masing-masing, termasuk saya. Hal ini tentu saja sangat rasional karena kita beranggapan bahwa apa yang dilaksanakan itu hanyalah buang-buang waktu belaka. Tidak ada gunanya melaksanakan aksi di jalan, berteriak di depan pagar, apalagi sampai melakukan kerusuhan dan bertarung dengan aparat penegak hukum.
Tapi benarkah demikian? Jawabannya: Ya tentu saja benar.
Benar bahwa hal itu tidak berguna. Tetapi bukan karena kegiatan yang dilakukan tidak berguna. Tidak. Justru sebaliknya, hal tersebut sebenarnya sangat berguna sebagai kontrol sosial terhadap jalannya pemerintahan di negeri ini. Namun, hal di atas menjadi tidak berguna jika suara yang kita ajukan tidak didengar oleh mereka yang katanya menjadi perwakilan rakyat.
Lalu apakah itu artinya kegiatan itu tidak perlu dilakukan? Tentu kegiatan itu perlu dilakukan. Jika hal itu tidak dilakukan, justru menunjukkan bahwa kita mau diatur secara sembarangan oleh mereka yang katanya menjadi perwakilan kita.
“Ya ga perlu lah ikut demo. Nanti aja belajar yang bener, terus jadi anggota DPR yang bener, terus perbaiki Indonesia”
Perubahan Zaman
Saya cuma ingin bertanya sedikit untuk direnungkan
Jika Indonesia saat ini tidak hidup dengan baik, siapa yang bisa menjamin dalam 20 tahun ke depan masih ada sebuah negara bernama Negara Republik Indonesia untuk kita perbaiki?
Ambil kasus ekstrim. Jika melihat ke Wikipedia dan History, keruntuhan Uni Soviet hanya terjadi dalam rentang waktu 6 tahun(1985–1991). Jika ditarik ke keadaan Indonesia saat ini, melihat keadaan yang tidak baik-baik saja apakah kita seyakin itu bahwa dalam 20 tahun lagi masih ada Indonesia untuk diperbaiki?
Jika kita melihat sesuatu yang salah, maka janganlah diam saja. Tetapi mari kita perbaiki bersama-sama agar kesalahan tersebut tidak menjadi kesalahan yang fatal di kemudian hari.
Selain itu, teman-teman tahu atau tidak sih siapa orang-orang yang saat ini menduduki gedung DPR sebagai perwakilan rakyat? Sebut saja orang yang sudah saya sebutkan di atas. Fahri Hamzah.
Apakah teman-teman tahu bahwa beliau merupakan orang yang bergerak ke jalan ketika reformasi tahun 1998? Ya. Orang yang saat ini sangat fenomenal ini dulu merupakan orang yang aktif dalam reformasi dan kejatuhan rezim orde baru tahun 1998.
Tapi apa yang bisa kita lihat sekarang? Pemikiran orang-orang ini saat ini bertentangan dengan pemikiran orang-orang muda seperti kejadian 21 tahun yang lalu. Dengan hal tersebut, bisa kita anggap bahwa pemikiran kita dalam 20 tahun ke depan mungkin saja akan berbeda bahkan bertolak belakang dengan sebagian besar orang di luar sana.
Saya dulu pernah membuat tweet yang saya suka sampai sekarang.
Semua orang akan merasa dirinya benar, sampai ia tahu kesalahannya. Masalahnya adalah tidak semua orang mau mengakui kesalahannya dan tidak semua orang mau tahu kesalahan mereka.
Salam Ganesha
Sebagai mahasiswa ITB, tentu beberapa di antara kita pernah dan mungkin sering melantunkan salam terbaik kita, salam ganesha. Salam ganesha berbunyi:
Untuk Tuhan, bangsa, dan almamater, salam ganesha mulai!
Salam ganesha. Bakti kami untuk Tuhan, bangsa, dan almamater! Merdeka!
Dua baris kalimat yang sederhana. Tapi sadar atau tidak, itu adalah janji kita yang seharusnya kita junjung tinggi bahwa kita akan berbakti kepada Tuhan (menjunjung tinggi kebenaran), berbakti kepada bangsa (memperbaiki keadaan bangsa dan negara ini untuk kepentingan bersama), serta almamater (menjunjung tinggi nama baik ITB baik di dalam maupun di luar kampus). Kita meneriakkan kemerdekaan, merdeka bukan dari negara lain tetapi dari penindasan terhadap rakyat kecil dan
Lalu pertanyaannya, sudahkah kita melakukan janji kita?
Kawanku, kesempatan untuk melaksanakan janji ini sudah terbuka lebar. Pertanyaannya sekarang hanyalah maukah kita memanfaatkan kesempatan tersebut?
Harapan masyarakat
Ya. Judul di atas tidak salah. Masyarakat berharap banyak pada pergerakan mahasiswa ini. Tidak percaya? Boleh dilihat tweet ini. Demonstrasi ini bukan hanya berteriak-teriak di depan gedung MPR. Dalam aksi ini ada harapan dari tukang cilok, tukang kain, tukang bubur, pedagang asongan, pengemis, pengamen, dan semua orang yang tidak mampu untuk menyuarakan apa yang mereka pikirkan. Mereka berharap pergerakan ini dapat memberikan hasil yang terbaik bagi bangsa dan negara, walau yang mampu mereka lakukan hanya menitipkan harapan mereka kepada mahasiswa-mahasiswa yang maju ke lapangan.
Terkadang mereka hanya mampu menitipkan dukungan seperti makanan, minuman, air untuk cuci muka ketika terkena gas air mata, dan juga tempat berlindung ketika mahasiswa dikejar aparat. Dukungan seperti ini menunjukkan bahwa masyarakat memiliki dukungan besar terhadap apa yang dilakukan oleh mahasiswa. Setidaknya mereka pasti berharap dengan seperti ini Indonesia menjadi lebih baik.
Mungkin di antara rekan-rekan ada yang menyempatkan waktunya turun ke jalan. Saya mengucapkan terima kasih banyak kepada kalian yang rela mengorbankan waktu kalian untuk negeri ini. Semoga apa yang kalian lakukan memberikan dampak baik bagi negeri ini.
Bagi rekan-rekan yang bersedia memberikan bantuan baik secara fisik, moral, atau logistik kepada rekan-rekan kita di lapangan, terima kasih banyak bantuannya. Semoga Tuhan memberikan jauh melebihi apa yang telah kalian korbankan.
Bagi rekan-rekan yang hanya mampu mendoakan kawan-kawan kita di lapangan, terima kasih kalian masih peduli setidaknya akan keselamatan rekan-rekan kita di sana. Semoga Tuhan memberikan keselamatan bagi kita semua.
Penutup
Pada akhirnya, tulisan ini bukan untuk mengajak kita berdemo tanpa dasar yang jelas. Tapi, ketika melihat sesuatu yang buruk terjadi di negara ini, saya sangat berharap bahwa kita semua berani untuk bergerak memperbaiki kesalahan tersebut. Ya. Ini tulisan untuk meromantisasi pergerakan. Tapi saya sadar. Ini adalah salah satu pergerakan yang mungkin saya laksanakan bagi Tuhan, bangsa, dan almamater saya.
Ingatlah kawan. Perjuangan kita semua belum selesai. Persoalan ini bukan Thanos yang bisa musnah dengan sebuah jentikan jari Iron Man. Persoalan ini bagaikan kanker yang menggerogoti negeri ini secara perlahan. Terkadang dia terlihat seperti telah dikalahkan, tetapi bisa kembali lagi secara tiba-tiba dan pada akhirnya kita tidak mampu lagi hidup berbangsa dan bernegara jika kita tidak berusaha untuk memperbaikinya.