Wanita yang Kedapatan Berzina
Perspektif dalam permasalahan
Bandung, 22 November 2018
Ada berita yang kurang enak didengar sampai ke saya hari ini. Di Bekasi, saudara-saudara kita kaum LGBT, lebih tepatnya transgender atau waria, mendapat persekusi dari sekelompok masyarakat yang mengatasnamakan golongan agama tertentu. Untuk lebih jelasnya, bisa membaca beritanya di sini atau dalam Bahasa Indonesia bisa dibaca di sini. Tapi dari pembahasan berita tersebut di Twitter, saya menemukan balasan yang menarik perhatian saya.
Dengan balasan tersebut, saya tiba-tiba terpikir sesuatu cerita dari Alkitab
MOHON DIPERHATIKAN
Meskipun cerita berikut dari Alkitab, bukan berarti tidak bisa dijadikan pelajaran apapun agama Anda
Perempuan yang Berzinah (Yohanes 8:2–11)
Pagi-pagi benar Ia berada lagi di Bait Allah, dan seluruh rakyat datang kepada-Nya. Ia duduk dan mengajar mereka. Maka ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi membawa kepada-Nya seorang perempuan yang kedapatan berbuat zinah. Mereka menempatkan perempuan itu di tengah-tengah lalu berkata kepada Yesus: “Rabi, perempuan ini tertangkap basah ketika ia sedang berbuat zinah. Musa dalam hukum Taurat memerintahkan kita untuk melempari perempuan-perempuan yang demikian. Apakah pendapat-Mu tentang hal itu?” Mereka mengatakan hal itu untuk mencobai Dia, supaya mereka memperoleh sesuatu untuk menyalahkan-Nya. Tetapi Yesus membungkuk lalu menulis dengan jari-Nya di tanah. Dan ketika mereka terus-menerus bertanya kepada-Nya, Ia pun bangkit berdiri lalu berkata kepada mereka: “Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu.” Lalu Ia membungkuk pula dan menulis di tanah. Tetapi setelah mereka mendengar perkataan itu, pergilah mereka seorang demi seorang, mulai dari yang tertua. Akhirnya tinggallah Yesus seorang diri dengan perempuan itu yang tetap di tempatnya. Lalu Yesus bangkit berdiri dan berkata kepadanya: “Hai perempuan, di manakah mereka? Tidak adakah seorang yang menghukum engkau?” Jawabnya: “Tidak ada, Tuhan.” Lalu kata Yesus: “Aku pun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang.”
Perspektif
Dalam cerita ini, ada 3 perspektif yang bisa saya dapatkan.
Wanita yang Berbuat Zina
Seperti yang banyak dijelaskan di banyak renungan, kita selalu mendapat gambaran dari perspektif atau sudut pandang si wanita pendosa, dimana Tuhan mengampuni segala dosa yang kita lakukan dan meminta kita untuk tidak berdosa lagi tanpa menghukum kita. Tapi masih ada gambaran yang terlewat di sini.
Ketika ditempatkan di pusat kerumunan, saya berpikir bahwa sang wanita akan merasa menjadi orang paling hina. Dia dipaksa ditempatkan di tempat yang “suci”(rumah ibadah), ketika dia sedang dalam keadaan berdosa, yaitu dosa perzinahan. Bahkan saya tidak yakin sang wanita ini telah mengenakan pakaiannya atau tidak ketika berada disana. Apakah kita bisa membayangkan bagaimana betapa hancur perasaan wanita tersebut? Belum lagi ditambah beban kejiwaan atas hukuman mati yang akan menimpanya sesaat lagi.
Dengan perasaan demikian, saya yakin dia hanya bisa terdiam sambil berlutut atau bahkan menangis dengan muka menempel tanah. Merasa orang paling rendah martabatnya di muka bumi ini. Bahkan mungkin dia merasa tidak layak disebut seorang manusia.
Hubungan dengan kasus di atas apa? Menurut Anda akan seperti apa perasaan dari saudara-saudara kita yang menjadi korban persekusi? Apa bedanya dengan sang wanita tersebut yang dosanya begitu dipaparkan dan dibuat memalukan? Rekan-rekan kita di atas mengalami kekerasan fisik dan seksual, dicukur rambutnya secara paksa, dan ditelanjangi. Mungkin mereka akan merasa sangat terhina, bahkan lebih hina daripada hewan.
Kaum Farisi dan Ahli Taurat
Pada zamannya, Kaum Farisi dan Ahli Taurat adalah orang-orang yang dihormati di lingkungannya. Mereka dianggap perwakilan Tuhan di dunia, yang menyampaikan mana yang benar dan mana yang salah. Tapi ketika Yesus datang, Ia mendobrak banyak aturan yang sudah menjadi kebiasaan pada saat itu. Banyak hal buruk yang menjadi kebiasaan diperbaiki dan didobrak oleh-Nya. Tidak heran, pada masanya Ia merupakan tokoh yang sangat kontroversial dan memiliki musuh besar kaum-kaum terdidik dalam jalur agama atau bahkan pemuka-pemuka agama di tempatnya. (Terdengar familiar? Seperti siapa gitu saya lupa)
Bertahun-tahun belajar agama, tentu saja perkara aturan dan tata keagamaan orang-orang ini sudah sangat mengerti. Oleh sebab itu, bukan hal yang aneh jika mereka mendapati seorang berbuat zina dan langsung berpikir untuk merajam wanita tersebut, karena memang demikian perintah yang ditulis di hukum taurat.
Sekarang kita lihat dalam konteks. Pertama, dalam ayat 6 dijelaskan bahwa tindakan mereka hanya untuk mencobai Yesus dan mencari kesalahan-Nya. Jadi, pemuka-pemuka agama ini mencoba menjatuhkan lawan ‘politik’ mereka dengan bekal senjata berupa agama(Kok kaya familiar? Kaya siapa gitu ga sih?).
Kedua, coba kita lihat gestur tubuh mereka. Ketika membawa perempuan tersebut ke kerumunan orang, apakah mereka jalan jongkok? Merayap? Merangkak? Tidak. Pasti mereka berdiri dan berjalan. Bahkan saya yakin mereka terus berdiri sampai kemudian pergi di akhir bacaan tadi.
Apa makna berdiri? Dalam konteks ini, berdiri bisa berarti meninggikan diri. Bagaimana bisa? Karena dalam kondisi di bacaan ini, Yesus(dan mungkin semua orang) dalam keadaan duduk, sehingga berdiri menandakan memiliki posisi lebih tinggi dan memiliki wewenang lebih.
Selain itu, lihat tindakan Ahli Taurat dan Kaum Farisi. Mereka merasa manusia paling suci dan orang yang mereka hadapi merupakan orang yang penuh dosa. Sikap tinggi hati ini, membuat Orang Farisi dan Ahli Taurat secara harafiah(literally) maupun figuratif(figuratively) menempatkan posisi mereka lebih tinggi dari orang lain, hanya karena mereka memiliki motif di belakangnya, mereka merasa mengerti agama, dan tidak melakukan dosa “separah” orang lain(Side note: dalam agama Kristen tidak ada dosa besar dan dosa kecil. Semua dosa tetap dosa, baik berbohong, mencuri, membunuh, berzina, dan murtad, semuanya ‘terhitung’ dosa yang sama di hadapan Tuhan).
Tidak jauh berbeda dengan kasus di atas, orang-orang yang merasa ‘beragama’ ini merasa mereka benar dan memiliki posisi lebih tinggi daripada orang lain, sehingga mereka merasa memiliki hak menguasai orang lain sehingga berhak untuk melakukan persekusi kepada orang lain. Sebenarnya ada satu pertanyaan yang tidak akan pernah terjawab. Kenapa orang merasa suci dan berhak menghakimi orang lain, ketika mereka belajar agama?
Yesus
Bagian ini dan kesimpulannya akan menimbulkan sedikit kontroversi. Tapi untuk sekarang tolong percaya apa yang saya percaya, yaitu Yesus adalah bentuk fisik Tuhan dalam diri manusia.
Sekarang kita tinjau karakter ketiga, Yesus.
Pertama. Kita lihat gestur tubuh-Nya. Awalnya di ayat 3 dijelaskan bahwa Yesus sedang duduk. Kemudian ketika Orang Farisi dan Ahli Taurat datang, muncul 2 posisi yang berlawanan: Sang wanita berada di tanah(rendah) dan kaum oposisi berdiri(tinggi). Dalam keadaan tersebut, maka dapat kita simpulkan Yesus berada tepat di tengah. Ia tidak di tempat tinggi maupun tempat rendah. Tapi apa yang kita dapati kemudian?
Pertama. Dalam keadaan tersebut, Ia membungkuk, yang artinya Dia merendahkan diri-Nya dan mendekat ke wanita berdosa itu dan bahkan menjauhkan diri-Nya dari pada kaum-kaum ‘beragama’ tersebut. Aneh bukan? Kenapa Tuhan malah mendekatkan diri pada kaum berdosa dan bukan kaum beragama. Tetapi dengan perbuatan-Nya yang demikian, dapat kita tahu bahwa Tuhan tidak berpihak pada mereka yang tinggi hati tetapi Ia menyukai mereka yang mengerti kesalahannya dan menyesali perbuatannya. Oleh sebab itu, apa pun pemikiran dan latar belakang kita, ketika kita meninggikan hati sekali pun dengan dasar agama, Tuhan tidak akan menyukai perbuatan tersebut. Ingatlah bahwa semua orang, baik orang benar maupun orang berdosa, memiliki derajat yang sama di mata-Nya.
Selanjutnya, ada satu kemudian pada ayat 7, Yesus berdiri hanya untuk menghardik orang-orang yang tinggi hati tersebut. Di sini Tuhan ingin menunjukkan bahwa tidak ada manusia yang kedudukannya lebih tinggi dari-Nya. Lalu kemudian, Ia kembali membungkuk dan menulis di tanah.
Kesimpulan
Terkadang kita sebagai manusia yang beragama, tidak sadar bahwa kita sedang mempermainkan Tuhan atas perbuatan kita. Kita merasa kita orang yang benar, sehingga ketika ada orang lain yang salah kita merasa berhak untuk menghardik dan melakukan persekusi ke mereka. Padahal Tuhan saja menyatakan, “ Aku pun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang”.
Coba kita renungkan. Kenapa kita merasa wajar untuk menghukum mereka yang salah di mata kita? Mungkin karena sejak kecil kita dididik untuk menghukum orang yang bersalah dan bukan membimbing orang itu untuk menyadari kesalahannya dan melakukan hal yang benar.